KITA YANG BERBEDA

Sore yang sangat membosankan, sepertinya sudah tidak ada lagi yang menarik di kota ini. Aku sudah rindu dengan kampung halamanku. Kulemparkan ingatan menuju beberapa tahun yang lalu. Bagaimana sekarang keadaanmu? Apakah sudah bertemu dengan seorang yang bisa membahagiakanmu? Ah, jangan sampai belum. Aku tidak ingin bila hatimu masih menantiku yang sangat bodoh ini.
Kuambil ponsel di sakuku dan kucari satu nomor yang setiap 3 hari sekali menelponku. Ku tekan tombol “Panggil”
“Halo”
“Assalamualaikum?” tanya suara di seberang.
“Halo, umi”
“Salamnya di jawab dulu mas,”
“Waalaikumsalam.”
“Ada apa mas? Ngga biasanya nelpon?”
“Besok aku pulang.”
“Oh, Alhamdulillah. Keluarga disini udah pada kangen.”
“Iya mi, doakan saja lancar.”
“Amiinnn.”
“Yaudah mi, itu aja.”
“Iya mas.”
“Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Kututup telpon dan mulai kupersiapkan semua barang yang akan kubawa esok, aku sudah tak sabar lagi untuk berjumpa dengan kota tempat lahirku dan terutama pada orang yang telah melahirkanku. Sebenarnya hati kecilku juga merindukan seseorang yang dengannya cinta bermekaran didalam dada. Namun, akal memaksa untuk mengedepankan logika. Aku segera membuyarkan lamunan itu dan kembali berfokus pada pekerjaanku yang sempat tertunda. 

***

“Sejak kapan kamu pulang?” tanya sahabatku Adrian.
“Semalam.”
“Kenapa si betah banget di rantau?”
“Ya soalnya disana aku punya pekerjaan.”
“Pekerjaan atau pelarian?” Adrian pasti sudah bermaksud untuk membelokkan obrolan menuju kenangan yang sudah padam.
“Pekerjaan,” jawabku datar.
“Udah lah, kamu tuh ngga pinter nge-bohong,” kini Adrian masih berusaha memojokkanku kembali dengan teori prediksinya itu.
“Apa si yang bikin kamu ngga percaya sama ucapanku?” tanyaku pada Adrian untuk berusaha menstabilkan suasana sebelum aku semakin terpojok.
“Teman-teman kita tuh udah banyak yang tahu, kamu pergi karena pengin lari dari Lianti kan?”
“Kok gitu si? Siapa yang bilang gitu?” tanyaku berusaha mengelak dari fakta yang sedang dipaparkan.
“Udah lah, bilang aja iya.”
“Engga juga.”
“Kamu tau ngga si, sehabis kamu pergi itu tiap hari Lianti kesini ...,” Adrian mulai menceritakan cerita yang tidak pernah aku duga sebelumnya.

***

Sore yang cerah untukku meregangkan otot-ototku di lapangan olahraga. Sore ini aku sudah ada janji dengan Kevin akan olahraga bersama di tempat ini. Tak beberapa lama setelah aku datang, Kevin datang dengan seorang temannya.
“Kenalin nih,” seru Kevin padaku.
“Syauqi,” ucapku sambil mengulurkan tangan.
“Reza,” jawabnya menyambut uluran tanganku.
Kevin adalah salah satu temanku dahulu saat masih di SMA. Kami berteman cukup baik. Walau keluargaku dan keluarganya memiliki keyakinan yang berbeda dalam memaknai tuhan. Namun di saat SMA Kevin memutuskan untuk memeluk keyakinan yang sama sebagaimana keyakinanku. Bahkan, dalam segi ibadah, dia bisa lebih giat 5 kali lipat dibandingkan ibadahku yang sejak kecil sudah memeluk islam.
“Gimana kerjaan kamu Qi?” tanya Kevin padaku setelah kami usai berolahraga.
“Baik kok, semuanya aman. Bisnismu gimana? Lancar?”
“Lancar kok, sekarang bahkan perusahaanku sudah bisa berdiri sendiri tanpa ada lagi bantuan dari papiku.”
“Wah, aku seneng dengernya. Kalo kamu gimana Za?” tanyaku pada Reza yang terlihat tengah asik memainkan ponselnya.
“Dia mah bentar lagi nikah Qi, nyiapin ini itunya masih ribet,” bukan Reza yang menjawab, tapi justru Kevin yang menimpali.
“Wah, semoga lancar ya sampai hari H.”
“Amiinn,” jawab Reza kemudian.
Yang aku tahu dari Kevin dan Reza adalah mereka memiliki dua kesemaan dan beberapa perbedaan. Yang paling jelas adalah keduanya berasal dari suku yang sama, yaitu; Tionghoa. Namun yang berbeda adalah keluarga Kevin masih mempercayai ajawan nenek moyang mereka, berbeda dengan keluarga Reza yang memutuskan untuk mengikuti keyakinan yang sama dengan keyakinanku.
Dulu aku sempat sangat terobsesi dengan gadis-gadis dari suku tionghoa, apalagi kalau bukan sebab kulit putih dan mata yang tipis. Beberapa kali aku berusaha mendekati, dan pada akhirnya aku berhasil menaklukkan satu dari sekian hati mereka. Dia adalah gadis yang parasnya sudah tidak membuatku ragu untuk melangkah maju. Keinginannya tidak terlalu tinggi, dan ia juga sangat mengerti bagaimana caranya mencintai. Tapi, dibalik itu semua kami memiliki keyakinan yang berbeda.
Diantara sekian wanita yang hatinya pernah kusinggahi, hanya dia yang sampai saat ini membuatku menyesal sangat mendalam. Namun, apa daya. Semua sudah terjadi.

***

Sore ini aku memutuskan untuk merenung di salah satu kedai kopi tempat dahulu biasa aku berlangganan. Hanya seorang diri saja kubuka laptopku untuk memeriksa apakah ada pekerjaan yang masuk melalui e-mailku.
“Mas Syauqi kan?” tanya seorang kasir yang sedang melayani pembelianku.
“Iya, ternyata masih inget.”
“Ya masih mas, dulu kan mas selalu kesini sama mba Lianti.”
Aku terdiam tidak menjawab. Dan kemudian berlalu dengan terlebih dahulu meninggalkan senyum agar tidak ada prasangka buruk perihal perbuatanku.
Seusai memeriksa e-mail, aku menilik kembali beberapa arsip yang pernah hendak kukirimkan sebagai konten untuk blogku.
PLAKKK
Sebuah tamparan keras mendarat diwajahku tanpa sadar. Aku melihat siapa yang dengan beraninya melakukan hal tersebut. Kulihat ada seorang wanita dengan pakaian yang tertutup dan kerudung segitiga tersemat di kepalanya. Aku tak menduga kalau ternyata aku mengenal siapa wanita ini.
“Lianti?” tanyaku saat tahu bahwa ia kini sudah berdiri dihadapanku. Aku memegangi pipiku meredam sedikit perih dari tamparan yang ia berikan.
Kedai ini masih sepi, hanya ada beberapa pasangan yang mereka juga sibuk dengan urusannya masing-masing.
“Kenapa si kamu jahat sama aku!? Tega banget ninggalin aku tanpa ada penjelasan atau salam perpisahan,” dia sepertinya sedang terbawa emosi yang sangat dalam, sampai-sampai tidak memperdulikan beberapa orang yang otomatis langsung menoleh ke arah kami.
Aku diam. Belum ada jawaban yang kupersiapkan untuk menjawab pertanyaan semenyakitkan ini.
“Jawab!” bentaknya lagi karena ia masih mendapati bibirku kelu.
Aku berdiri dan langsung mendekapnya, kuletakkan kepalanya di dadaku. Dan sontak air matanya tumpah. Aku mengusap-usap ubunnya untuk menenangkannya sebelum nantinya aku akan menjelaskan semuanya.
***
“Bi, aku mau nikah,” ucapku dihadapan kedua orang tuaku.
“Emang calonnya udah ada?” tanya umiku.
“Udah.”
“Kok kamu ngga pernah kenalin ke kami?” tanya umiku lagi sebab abiku masih diam.
“Iya mi, soalnya selama ini aku ngga berani buat ngomong ini.”
“Yaudah, ceritain aja dulu sebelum besok harus kamu datangkan dulu dia kemari.”
“Namanya Liati, dia seorang gadis yang baik, cantik, pinter.”
“Agamanya apa?” tanya abiku spontan setelah aku baru saja menyebutkan namanya.
Aku sangat takut untuk mengatakannya namun memang tidak boleh lagi untuk disembunyikan, “Nasrani.”
Ruangan hening sesaat.
Abi dan Umiku saling bertukar pandangan sebelum akhirnya hal yang sangat tak kuinginkan benar benar terjadi pada diriku sendiri.
“Mas, emangnya kamu ngga ada calon yang lain?” tanya umiku dengan nada yang masih rendah.
“Engga mi, aku udah terlanjur suka sama dia.”
“Tapi mas, agama kita tidak membolehkan untuk pernikahan berbeda keyakinan. Dan kamu tahu itu kan?” sekarang giliran Abi sudah turut angkat bicara.
“Tapi bi, bukannya ngga ada masalah, kan Nasrani juga salah satu dari ajaran samawi ?” tanyaku lagi untuk mendebat pernyataan abiku.
“Tapi kan udah jelas di al-qur’an kalau al-qur’an sudah menyempurnakan ajaran-ajaran nabi-nabi terdahulu. Terus juga Nasrani saat ini kayanya udah banyak ajarannya yang melenceng dari ajaran-ajaran nabi Isa.”
“Tapi bi, bukannya agama itu milik masing-masing orang kan? Kenapa kita harus mengusik ruang itu?” aku terbawa emosiku dan mulai sedikit menaikkan nada bicaraku 
“Tidak dengan islam mas!, islam sudah sempurna. Tidak ada ajaran lain yang lebih istimewa dibandingkan dengan agama Islam.”
“Tapi bi, ...” aku masih ingin menyanggah lagi demi membenarkan tindakanku.
“CUKUP !!!” teriak umi yang sudah tidak sabar segera melerai perdebatan kami.
“Intinya kalau kamu emang mau tetep ngotot nikahin perempuan itu, kami hanya bisa berlepas tangan,” ucap abi memberikan pernyataan terakhir yang sudah tidak bisa lagi aku gugat.
Esoknya kuputuskan untuk pergi dari rumahku setelah terbitnya mentari tanpa ada izin dari Abi. Aku sudah tidak bisa lagi berfikiran jernih. Malam itu juga ku hapus kontak Lianti dari ponselku dan kuputuskan untuk menyerah pada keadaan. Aku ingin menghilang sementara dari lingkungan ini. Entah, kemanapun nantinya hati ini akan menetap untuk singgah. Masih ada tabungan yang bisa kugunakan, masih ada akal yang bisa kukembangkan. Aku akan bertahan tanpa siapapun dimanapun.

***

Air mata yang sesaat telah mereda kembali tumpah setelah aku menyelesaikan ceritaku di hadapan Lianti. 
“Kamu tau ngga si, kepergianmu itu ngga sama sekali ninggalin kabar apapun, aku bingung harus ngapain waktu itu,” ucap Lianti terbata-bata sambil mengatur tangisnya.
“Maafin aku Li, aku emang ngga beda sama cowok-cowok kurang ajar diluar sana.”
Aku terdiam setelah menyelesaikan ucapanku menunggu Lianti selesai dengan tangisnya. Aku baru teringat beberapa saat kemudian, mengapa sekarang Lianti seperti tampak menjadi muslimah? Bukankah pada hari minggu terakhir kami pergi bersama di pagi harinya masih sempat kuantarkan dia ke gereja?
“Li, aku minta maaf sekali lagi, aku udah ngga bisa apa-apa lagi sekarang. Aku denger dari temenku juga bentar lagi kan kamu mau nikah,” aku berhenti sejenak sebelum menyambung ucapanku, “tapi, boleh aku tahu kenapa sekarang penampilanmu sudah berubah?” tanyaku menggantung tapi sudah tak ingin kulanjutkan sebab rasanya hal itu bukanlah hal yang dibenarkan sesuai tata karma.
***
Aku menatap layar ponselku pagi ini, mengapa tidak ada pesan ucapan selamat pagi, atau sekedar basa-basi dari Syauqi. Kekasihku yang sudah setahun ini selalu memberikan kenyamanan padaku. Ada apa gerangan?
Hingga tengah hari aku masih juga belum mendapatkan pesan apapun dari Syauqi, aku lihat status online di kolom chatku dengannya. Tertulis terakhir online 12 jam yang lalu. Aku pikir mungkin ia masih tidur sebagaimana biasanya. Namun, bila ia tidur pun bukankah dia seharusnya menunaikan ibadahnya di tengah hari dan pasti dia akan di bangunkan oleh orangtuanya.
Pukul 01.00 aku masih juga belum mendapatkan kabar apapun darinya. Kulihat lagi status onlinenya, masih sama. Ku coba untuk memulai obrolan dengannya. Kukirimkan pesan berisikan.
“Sayang?”
Hanya ceklis satu.
Aku biarkan chat itu dengan harapan nanti setelah aku pulang kuliah dia mungkin akan menghubungiku.
Namun nihil, tidak ada kabar ataupun jawaban darinya.
Sehari, dua hari, tiga hari hingga sebulan lamanya masih tetap saja tidak ada perkembangan apapun dari kabar kejelasannya.
Beberapa hari kebelakang aku sudah berusaha mencari tahu tentangnya dari teman-teman dekatnya, dari pelayan-pelayan kedai tempat kami biasa duduk berdua, dari social media miliknya, dan semuanya NIHIL. Tidak ada kejelasan apapun yang kudapatkan.
Semakin hari aku semakin tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Dia hilang bak di telan bumi, begitu saja. Tanpa ada kata perpisahan atau izin untuk pergi. Terakhir kali perbincangan kami pada malam sebelum dia menghilang adalah dia menyatakan ingin menikahiku. Namun aku merasa itu bukanlah hal yang mudah, cinta kami terhalang oleh keyakinan yang berbeda. 
Ayahku tidak terlalu religious memang, ia berangkat ke tempat peribadatan hanya di hari minggu saja. Berbeda dengan keluarga Syauqi yang memang dari kecil sudah di tempa untuk beribadah 5 waktu penuh. Pada awalnya merasa kalau hubungan kami tidak akan berjalan mulus, namun pada saat itu syauqi selalu bisa meyakinkanku bahwasanya hubungan kami masih bisa diperjuangkan. Namun, buktinya sekarang ia hilang. Bahkan, tanpa kabar.
Berbulan-bulan kemudian aku merasa seperti ada separuh dari diriku yang hilang, aku tidak selera untuk melakukan banyak kegiatan. Banyak tugas ku abaikan, hingga aku tiba pada satu titik yang paling bodoh. Aku lupa akan adanya tuhan.
Meski kami dari awal memang sama-sama mengetahui bahwa terdapat perbedaan dalam keyakinan kami, dia tidak pernah mempermasalahkannya. Bahkan, aku yang dulunya malas-malasan pergi ke gereja di hari minggu, olehnya selalu di paksa untuk berangkat menunaikan kewajibanku berbakti pada tuhan.
Setelah aku selesai beribadah, kami akan berjalan-jalan menghabiskan libur sehari kami untuk sekedar menonton bioskop, mencari buku bacaan untuknya, atau mencicip makanan-makanan yang belum pernah kami cicip sebelumnya.
Cinta beda keyakinan ternyata tidak serumit yang dipikirkan apabila dalam hubungan itu hanya terdapat dua insan. Namun ketika hubungan itu di tingkatkan menjadi dua keluarga, maka kerumitannya akan tampak nyata.
Setengah tahun setelah kepergiannya aku sudah bisa kembali menjalani hariku seperti dulu lagi, walau tetap saja tidak sesempurna dahulu. Beberapa kali sering aku melamun di balkon kosanku menatap langit.
“Kamu lagi ngapain si, kok pergi tiba-tiba tanpa ada kabar sama sekali, aku yakin kamu juga tinggal di bawah langit yang sedang kupandangi saat ini kan. Aku rindu.”
Hingga pada semester 8 kuliahku, aku memutuskan untuk tidak cepat-cepat menyelesaikan skripsiku. Dosen pembimbingku orangnya sangat membosankan. Namun semuanya berubah setelah kejadian itu.
Aku ingat sekali pada siang hari setelah aku berlari-larian mengejar dosen yang ternyata memundurkan jadwalnya itu aku tidak sengaja akan di tabrak mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi. Tanganku mendadak di tarik oleh seseorang yang tidak aku kenal. Aku selamat dari kecelakaan yang hampir terjadi.
“Kamu nggapapa kan?” tanyanya seolah khawatir dengan keadaanku.
“Iya, aku nggapapa kok,” jawabku setelah tersadar dari syok yang membuat jantungku berdebar sangat kencang.
“Yaudah, aku anter kamu kerumah ya,” ucap seorang pria yang tadi menyelamatkanku dengan menarik paksa tanganku.
Dimobil kami lebih banyak diam, tidak ada perbincangan sama sekali. Hingga aku di antarkan olehnya tiba di depan kosanku.
“Lain kali hati-hati ya, kalau celaka nanti akan merepotkan banyak orang,” ucap pria tadi dan kembali melajukan kendaraannya kembali.
Setibanya di kamar aku baru sadar, aku tidak mengerti siapa nama pria tadi. Tidak ada dalam pikiranku tadi untuk menanyakan namanya sama sekali. Lalai sekali aku.
Esoknya aku beraktifitas seperti biasanya, berangkat ke kampus untuk mengejar dosen yang sama. Yang rasanya seperti ingin sekali menunda waktu kelulusanku. Tapi ada yang berbeda dengan hari ini, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa dosenku tersebut diantar oleh pria yang pada hari lalu telah menolongku.
Sebelum ia pergi dengan mobilnya, aku memberanikan diri mendekat dan berusaha memasang ekspresi mukaku yang paling manis.
“Selamat pagi.”
“Selamat pagi,” jawab mereka bersamaan.
“Hmm, sebelumnya saya ingin mengucap terimakasih sebesar-besarnya atas pertolongan anda kemarin,” kubungkukkan badanku menghadap pria yang sudah menyelamatkanku itu.
“Aduh, ngga usah sampai seperti itunya, yang kemarin hanyalah kebetulan saja, saya juga tidak sengaja sedang berada di sana,” jawab pria itu santai membuatku kembali mendongakkan badanku.
“Hush, dunia ini tidak tercipta sebab kebetulan. Selalu ada alasan mengapa allah menghadirkan sesuatu atau mengambil kembali sesuatu. Semuanya sudah tertera dalam kitab yang disebut lauhul-mahfudz,” dosenku mengomentari ucapan pria ‘penyelamat’ ku, “Yaudah, papah ada jam mengajar pagi ini, untukmu Lianti; bimbingannya saya undur sampai nanti pukul 10.00, datangi saja ruangan saya, saya tidak menyukai keterlambatan. Assalamualaikum,” dan diapun meninggalkan kami berdua yang masih tidak tahu harus apa sekarang.
“Oh, namamu Lianti ya, namaku Reza,” pria tersebut mengulurkan tangannya mengajakku berkenalan.
“Lianti,” aku menyambut uluran tangannya.
Dan setelah perkenalan itu kami mulai bertukar nomor ponsel, social media, dll. Tidak hanya itu, setelah perkenalan itu dosenku seperti memberikan jalan yang lenggang untukku agar mudah dan cepat untuk menyelesaikan skripsiku.
Yang kutahu Reza adalah seorang pengusaha, ayahnya yang dosen tidak pernah menuntut terlalu banyak kepadanya. Ia meniti karirnya dengan penuh dukungan dari lingkungannya, dan semakin lama aku semakin tahu mengapa Reza memiliki penampilan yang sama dengan penampilan pria dari ras-ku. Ibunya adalah keturunan tionghoa, sedangkan ayahnya adalah keturunan jawa tulen. Dan selidik punya selidik ternyata sebelum mereka menikah ibunya sudah terlebih dahulu menjadi seorang mualaf, bahkan dibandingkan ayahnya, ibunya lebih giat untuk mengerjakan ibadah. 
Reza sudah belajar toleransi sejak kecil, tentu saja sebabnya adalah keluarga dari ibunya sebagian besarnya masih beragama Nasrani. Namun itu tidak membuat Reza harus menjaga jarak dengan saudara-saudaranya.
Hal itu membuatku terenyuh, aku mulai meninjau kembali lingkunganku. Lingkungan yang memang orang-orangnya sangat toleran terhadap pemeluk agama lain. Sedikit demi sedikit aku juga mulai tertarik dengan islam. Semakin hari aku semakin memantapkan diri untuk kemudian mengucapkan kalimat syahadat dibimbing oleh seorang ustadzah di saksikan oleh beberapa teman-teman kampusku.
“Alhamdulillah,” serentak semua orang mengucapkan rasa syukur kehadirat allah atas masuk islamnya diriku.
Ustadzah Ani kemudian memakaikanku hijab sebagai upacara simbolis bahwa aku sudah diwajibkan atas syari’at berhijab. Beberapa temanku memelukku dengan haru disertai bahagia. Mereka semua mendoakanku agar aku senantiasa istiqomah.
Tidak lama setelah masuk islamnya diriku Reza mendadak menjemputku di kosanku. Tidak seperti biasanya memang, kami sebenarnya tidak terlalu sering berbincang baik itu lewat social media atau secara langsung.
“Sebentar,” aku berteriak dari atas blankon kamarku setelah beberapa kali Reza menekan tombol klakson di mobilnya. Kuambil hijabku terlebih dahulu baru kemudian turun untuk menemuinya di mobil.
“Ada apa?” tanyaku dari luar pintu pengemudi.
“Ikut aku bentar yuk,” ajaknya dari dalam.
“Tapi aku belum siap apa-apa.”
“Udah, nggapapa. Sebentar aja kok.”
Reza membukakan pintu depan untuk penumpang dan mempersilahkanku masuk, aku mengikuti intruksi dari Reza dan setelah pintu ditutup ia melajukan mobilnya meninggalkan pelataran kosanku.
“Kamu udah makan malam?” tanyanya memecah keheningan di dalam mobil.
“Belum.”
“Makan yuk?”
“Boleh.”
“Dimana?”
“Terserah.”
“Yaudah, seatbeltnya di pasang ya.”
Dia mempercepat laju kendaraannya dan mulai menerobos sepi. Tak selang beberapa lama mobilpun perlahan menepi di salah satu rumah makan yang bangunannya sebagian besar terbuat dari bambu. Reza yang lebih dahulu turun dari mobil dan kemudian membukakan pintu untukku. Kami berjalan bersebelahan mencari tempat yang bisa kami gunakan untuk makan. Terpilihlah satu saung bambu yang letaknya di pojok dengan lampu yang sedikit temaram namun tampak syahdu.
Tidak beberapa lama setelah kami duduk pelayan datang membawakan pilihan menu untuk kami, aku memilih menuku begitu juga dengan Reza.
“Ada apa kamu ngajak aku kesini?” tanyaku pada Reza yang belum sama sekali membuka obrolan apapun, dia masih berfokus pada ponselnya sejak tadi.
“Oh, sebelumnya selamat yak arena kamu sudah mau menjadi bagian dari tali persaudaraan umat muslim,” ucap Reza mulai membuka suara, “aku turut berbahagia mendengar kabar tersebut.”
“Loh, kok kamu bisa tau?” tanyaku penasaran, bukankah aku tidak pernah mempublikasikan hal ini untuk umum batinku.
“Papa yang cerita sama aku, papa juga nitip ucapan selamat buat kamu.”
“Oh, makasih atas ucapannya,” aku bahagia mendengarnya, ternyata secara tidak kusadari dosenku memberikan perhatian padaku selaku mahasiswi yang dibimbingnya.
“Hmm, aku sudah berbincang sama papa sebelumnya, dan mungkin aku akan mengatakan sesuatu yang entah menggembirakan untukmu atau sebaliknya.”
“Ada apa?”
“Izinkan aku untuk meminangmu,” hening sesaat. Bibirku kaku, terdiam tidak tahu akan menjawab apa.
“Apabila kamu berkenan, aku akan mendatangi orangtuamu akhir pekan ini untuk mengutarakan maksud dari ucapanku.”
Singkat cerita ibu dan ayahku menyetujui pinangan dari keluarga Reza, mereka tidak menaruh ragu pada Reza dan keluarganya, kami menyepakati pernikahan kami akan di gelar setelah aku wisuda.
Penantian kami menuju hari-H tidak menjadikan kami harus bertemu setiap hari atau memadu mesra setiap waktu. Reza sibuk dengan bisnisnya, sedangkan aku disamping menyelesaikan skripsiku yang sudah tinggal beberapa langkah terakhir mulai sering mengikuti kajian-kajian keislaman yang di adakan oleh beberapa komunitas mahasiswa di kampus.
Hingga ada telpon dari seseorang yang memberi tahuku kabar bahwa Syauqi telah kembali.
***
“Aku tidak akan meminta maaf atas tamparan yang tadi kuberikan, itu tidak setimpal dengan caramu meninggalkanku tanpa keterangan,” jelas Lianti padaku setelah ia usai dengan ceritanya.
“Baiklah, untuk kesekian kalinya aku minta maaf. Aku memang tidak tahu apa-apa tentang perasaan.”
“Kamu tau ngga si waktu aku di kasih tau kalo kamu udah balik itu satu-satunya hal yang pengin aku lakuin cuma pengin nampar kamu. Kamu itu manusia paling kurang ajar tau ngga,” aku memberi jeda pada ucapanku, “kamu pergi tiba-tiba, pas kamu balik sakit yang dulunya udah ngga aku rasakan kembali datang begitu aja.”
Untuk kesekian kalinya lagi, dan lagi, “Maaf,” hanya itu satu-satunya kata yang dapat aku ucapkan dari bibirku.
Adzan maghrib sudah berkumandang dengan lantang dari pengeras-pengeras suara masjid di sekitarku. Rasanya ingin segera aku mendatangi panggilan itu untuk kemudian bersimpuh mengadu pada Rabb-ku. Dialah keindahan di atas keindahan, tidak ada keraguan bagiku untuk menghambakan diriku.
Aku membereskan laptopku baru kemudian berdiri hendak menyambut panggilan cinta dari tuhanku.
“Semuanya sudah jelas sekarang, aku sudah tidak tahu apa yang harus kulakukan, semoga kamu bahagia dengan pria yang sudah allah tentukan. Aku akan berdoa dari kejauhan agar allah senantiasa memberikanmu kebahagiaan, aku minta pamit undur diri untuk menyambut panggilan suci, untuk terakhir kalinya, maaf. Assalamualaikum.” Aku berlalu dari meja itu dan keluar dari cafĂ©. Kutatap senja sore itu, cerah sekali. Indah.
Kulangkahkan kaki terlebih dahulu menuju rumah allah, baru nantinya akan kupikirkan jalan apa yang harus kutempuh kedepan. Apakah menyudahi pelarian, atau memeluk semua luka atas keputusan terindah dari sang kuasa. 
Biar kusimpan semua cerita-cerita serta perasaan yang sudah berlalu itu dilubuk terdalam relung hatiku. Takkan kulupakan cinta itu, hanya saja kurahasiakan rapat-rapat agar tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa sejatinya masih ada kamu di hatiku.
***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Tetap Cinta